Sengketa pertanahan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru dan masih terjadi sampai saat ini. Sebagai seorang yang menjabat sebagai Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, mengembangkan pengetahuan di bidang tanah terutama mengenai sengketa bisa menjadi salah satu faktor yang dapat membuat profesi Notaris/PPAT bisa lebih berhati-hati dalam menjalankan jabatannya. Buku ini adalah buku yang sangat menarik untuk dibaca. Elza Syarief, sang penulis yang juga berprofesi sebagai seorang Pengacara, mengungkapkan beberapa kasus – kasus pertanahan yang terjadi di Indonesia dan mengajak kita untuk turut memahami, menganalisa dan untuk kemudian berfokus pada cara menyelesaikan sengketa tanah serta seperti apa hasilnya. Yang menarik lagi bagi saya adalah karena buku ini ditulis oleh Pengacara yang memiliki banyak pengalaman di lapangan dan terlibat dalam penanganan beberapa kasus sengekta pertanahan di DKI.
Terdiri dari 6 bab, Bab pertama langsung dibuka dengan cuplikan kasus-kasus pertanahan di Indonesia; sengketa tanah di kawasan Koja, Tanjung Priok, antara PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) dan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok dan sengketa tanah dari desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, antara TNI AL dengan warga disana. Kedua kasus tersebut dijadikan contoh bagaimana sengketa tanah seketika bisa berubah menjadi pertumpahan darah. Sebuah pengantar yang cukup deskriptif untuk menuju bab-bab selanjutnya.
Kemudian pada bab 5, selain menuliskan dan mengisahkan perkara-perkara yang ia berperan sebagai penasihat hokum yang menangani kasus-kasus di peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara, penulis juga memuat putusan-putusannya. Kasus dengan obyek tanah di jalan Jend. Sudirman Kav. 63 antara PT. Harang Ganjang dengan PT. Graha Metropolitan Nuansa yang terdapat inkonsistensi putusan sehingga kembali menimbulkan sengketa, menariknya selain para pihak tersebut dan pihak-pihak lain yang berperkara, ada juga Notaris sebagai turut tergugatnya. Tetapi tentu saja buku ini tidak berfokus pada akta Notaris melainkan berfokus kepada sengketa pertanhannya, tetapi dengan ini kita juga jadi tahu kalau akta yang kita buat bisa menyebabkan notaris menjadi turut tergugat karena kekuatan akta yang kita buat. Selain kasus tersebut masih ada lagi kasus-kasus lain yang ditulis dan dideskripsikan dengan baik dan membuat pembaca tidak jenuh membacanya.
Buku yang aslinya disusun sebagai disertasi beliau di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini, ditulis dengan metodologi yuridis-normatif dengan pendekatan sejarah dan perbandingan hokum. Secara pribadi, saya menyukai metodologi seperti ini. Karena bisa melihat secara runut bagaimana peritiwa-peristiwa sengketa tanah itu terjadi. Ada studi kepustakaan yang dilakukan, riset-riset, dan kemudian melakukan perbandingan hokum untuk mengetahui bagaimana hokum di Negara lain menghadapi sengketa tanah dan bagaimana dengan di Indonesia. Selain membawa pengetahuan tentang pertanahan di negeri sendiri, kita juga jadi tahu bagaimana sekelumit situasi pertanahan dan hokum pertanahan di luar negeri.
Secara umum, sebagaimana yang dituliskan dalam buku ini, sengketa tanah timbul antara lain akibat faktor-faktor:
1. peraturan yang belum lengkap
2. ketidaksesuaian peraturan
3. pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia
4. data yang kurang akurat dan lengkap
5. data tanah yang keliru
6. keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah
7. transaksi tanah yang keliru
8. ulah pemohon hak
9. adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan
Berpijak pada teori Negara kesejahteraan (welfare state) sebagai grand theory dalam buku ini, Negara berperan sangat luas untuk mengurusi kepentingan umum dan aktif berusaha menyejahterakan rakyat. Campur tangan pemerintah sebagai otoritas Negara harus intensif dalam mengurusi kepentingan masyarakat. Atas dasar inilah (melalui penuturan yang spesifik di dalam buku ini), kemudian Elza menyarankan 4 (empat) upaya penanganan sengketa tanah di Indonesia agar lebih baik lagi di masa mendatang, yang salah satunya yaitu agar Indonesia memiliki lembaga pengadilan khusus Pertanahan.
Menarik bukan? Tidak berhenti sampai disitu, Elza juga menuliskan hasil re-modelling yang bisa diadaptasi sebagai model dalam Pengadilan Tanah ini yaitu dengan mematut model Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan. Sebuah gambaran yang saya amini agar terwujud demi penyelesaian sengketa tanah di Indonesia
Buat saya ini adalah buku wajib yang ada di rak saya dan saya rekomendasikan kepada rekan-rekan sekalian untuk dapat memilikinya, meskipun bawahnya sudah dimakan rayap, dan saya sudah mencoba mencari ke toko buku tetapi buku tersebut tidak ada (saya dapat buku ini dari pacar saya sewaktu kita masih kuliah S2 dan dia mendapatkan ini di toko-toko buku di Jogja).