HGB &B HM

Ketahui 5 Fakta Tentang Hak Guna Bangunan (HGB) dan Problematikanya

Seringkali kita jumpai orangtua kita, saudara, tetangga, kerabat, teman dan nyaris hampir siapapun memiliki aset tanah yang sertipikatnya berupa Hak Guna Bangunan (ditulis singkat untuk selanjutnya menjadi HGB), tetapi sedikit dari kita yang memahami persoalan HGB, termasuk pada terbukanya konflik atas kepemilikan HGB. Apakah memiliki HGB berarti memiliki tanahnya? Beli ruko dengan HGB atau rumah tempat tinggal ber-HGB apakah sama? Kenapa beli rumah kavling dapatnya HGB? Apakah HGB bisa bebas dialihkan/dijualbelikan/dihibahkan kapanpun dan dengan siapapun?

Pertama perlu dipahami dahulu dasar hukum peraturan tentang tanah berinduk dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 selanjutnya ditulis singkat UUPA (masih berlaku). Pada pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan ada 8 (delapan) jenis hak atas tanah yaitu:

  1. hak milik;
  2. Hak Guna Usaha (“HGU”);
  3. Hak Guna Bangunan (“HGB”);
  4. hak pakai;
  5. hak sewa;
  6. hak membuka tanah;
  7. hak memungut hasil hutan;
  8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang  serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

Tulisan kali ini berfokus pada HGB dengan penyesuaian pada peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya ditulis dalam tulisan ini dengan PP terbaru).

Pemahaman Dasar

Pengartian HGB dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah “hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun” juncto Pasal 34 ayat (1) PP Terbaru menyebut subjek pemberian HGB ada 2 (dua) yaitu “Hak guna bangunan diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia; dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia” misalnya PT, Koperasi, Perhimpunan dan semua lembaga yang berdasarkan peraturan berstatus badan hukum (lihat penjelasan pasal tersebut.

Adapun tanah yang dapat dibebankan HGB sesuai bunyi Pasal 36 PP terbaru adalah “Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan meliputi:
a. Tanah Negara;
b. Tanah Hak Pengelolaan; dan
c. Tanah hak milik”.

Lebih lanjut dengan contoh

Developer atau pengembang perumahan / kavling bangunan pada umumnya berbentuk perusahaan terbatas, perusahaan terbatas meskipun berbentuk badan hukum tetapi tidak termasuk dalam daftar sesiapa yang bisa mempunyai hak milik. Dasar hukumnya ada di UUPA Pasal 21 ayat (1) “Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”, ayat (2) “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.” turunan dari ayat (2) ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah yang pasal 1 menyebutkan, “badan-badan hukum yang dimaksud adalah: Bank-bank yang didirikan oleh negara; Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian; Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial”.

Contoh mekanisme pertama, misal ada developer tertarik sama tanah. Tanah itu bersertipikat hak milik atas nama Teja. Developer ketemu Teja, sepakat jual beli, tetapi karena developer berupa PT dan PT ga bisa punya hak milik, maka dilakukanlah penurunan status hak milik yang dimohonkan oleh Teja menjadi hak guna bangunan sesuai prosedur yang diatur dan terbitlah SK Pemberian HGB. Penurunan status hak itu berarti Teja melepaskan hak miliknya sehingga Teja yang awalnya pemegang sertipikat hak milik kini menjadi berubah pemegang hgb, dan sejak itu juga tanah tersebut jadi tanah negara. (Dasar hukumnya bisa lihat PP terbaru itu di Pasal 2 ayat (1) “Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Repubilk Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain” juncto ayat (3) Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi – salah satunya pada contoh yang dilakukan teja diatas – adalah huruf d yaitu – “d. Tanah yang berasal dari pelepasan/penyerahan hak;”). Selanjutnya tanah itu oleh teja baru dijual belikan ke developer (balik nama) dihadapan PPAT dan didaftarkan peralihan namanya sesuai prosedur ke kantor pertanahan. Apakah HGB tersebut boleh dijual belikan? Alhamdulillah bisa, dasar hukumnya bisa lihat Pasal 45 ayat (2) “Hak guna bangunan dapat beralih, dialihkan, atau dilepaskan kepada pihak lain serta diubah haknya”. Developer lalu menjalankan usahanya. Jika jual beli antara teja dan developer terjadi, siapa yang punya tanahnya? tetap negara, bukan teja lagi, bukan developer.

Atau cara kedua, teja melakukan perjanjian sepakat untuk kerjasama dengan developer, tanahnya masih atas nama teja berupa hak milik, tidak melakukan perubahan hak dari hm ke hgb, tetapi developer membangun perumahan diatasnya sesuai jangka waktu dan dibuatkan akta di depan PPAT dan didaftarkan ke kantor pertanahan. Apa bisa? bisa. Trus siapa yang punya tanahnya? tetap teja, bukan negara bukan developer. Proses Pemberian HGB diatas Hak Milik (HM) dapat dilihat Pasal 38 ayat (3) “Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah” vide penjelasannya: “Pemberian hak guna bangunan di atas Tanah hak milik pada dasarnya merupakan pembebanan yang dilakukan oleh pemegang hak milik atas Tanah miliknya. Karena itu pemberian dilakukan dengan suatu perjanjian antara pemegang hak milik dan calon pemegang hak guna bangunan yang dicantumkan dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah” juncto Pasal 39 ayat (1) “Pemberian hak guna bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan” juncto ayat (3)-nya “Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik mengikat pihak ketiga sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan.”

atau cara ketiga, Negara memiliki tanah yang pengelolaannya dikelola Pemda, jadilah tanah hak pengelolaan. Oleh Pemda dimintalah pihak lain misalnya developer itu untuk ngebangun misalnya, disanalah melekat hgb diatas hpl namanya. Hukumnya sama saja, tanahnya bukan milik si pemegang hgb.

Catatan:

Pembaruan tidak sama dengan perpanjangan. Pasal 1 angka 7 PP Terbaru menyebut “Perpanjangan Jangka Waktu Hak yang selanjutnya disebut Perpanjangan adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak tanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut” dan angka 8-nya berbunyi “Pembaruan Hak yang selanjutnya disebut Pembaruan adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak setelah jangka waktu berakhir atau sebelum jangka waktu perpanjangannya berakhir”.

Jika memperhatikan Pasal 40 pada PP terbaru tersebut ditemukan penggunaan istilah yang berbeda, untuk HGB diatas tanah negara dan HGB diatas Hak Pengelolaan menggunakan term “diperpanjang atau diperbarui” ayat (1) dan (2) sedangkan pada HGB diatas Hak Milik hanya ada kata “diperbarui” saja – ayat (3).

Pasal 40 ayat (1) PP Terbaru “Hak guna bangunan di atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dapat
diperpanjang atau diperbarui atas permohonan pemegang hak apabila memenuhi syarat: a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; dan e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum. (2) Hak guna bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat diperpanjang atau diperbarui atas permohonern pemegang hak guna bangunan apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.

Pembaruan HGB diatas HM; Pasal 37 ayat (2) PP Terbaru menyebut “Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian hak guna bangunan di atas hak milik” juncto Pasal 40 ayat (3) melanjutkan “Atas kesepakatan antara pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak milik, hak guna bangunan di atas Tanah hak milik dapat diperbarui dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan” juncto Pasal 41 ayat (2) “Permohonan pembaruan hak guna bangunan diajukan paling lama 2 (dua) tahun setelah berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan”.

Ini menurut hemat saya, dikarenakan HGB diatas Tanah Negara dan HGB diatas HPL meskipun memiliki jangka waktu 30 tahun sejak diberikan (sama dengan HGB diatas HM) tetapi mereka bisa perpanjang 20 tahun lalu diperbarui 30 tahun lagi (lihat Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Terbaru), perpanjangan 20 tahun itu pun dengan catatan tidak mengubah persyaratan (subjek dan peruntukan hgbnya) dan Pasal 41 ayat (1). Angka-angka waktu tersebut dalam arti maksimal ya, bisa saja kurang dariv 30 tahun dikasinya tergantung peenilaian, jadiada proses dulu.

Sedangkan HGB diatas HM tidak ada proses 20 tahun ini. Jadi kalau sudah habis 30 tahun jangka waktu HGB diatas HM sejak diberikan, para pihak (pemilik HM dan pemilik HGB) melakukan pembaruan HGB dan paling lama diajukan pembaruannya dalam waktu 2 tahun sejak jangka waktu pertamanya berakhir, mengenai berapa lama dapat diperbarukan tergantung dari kesepakatan antara pemegang hak milik atas tanah tersebut.

Contoh: Kirana membeli rumah kavling di suatu perumahan, begitu lunas , Kirana mendapatkan HGB atas nama PT pengembang kavlingan tersebut. Apakah Kirana sudah memiliki tanah tersebut? jawabannya tidak. Kirana tidak memiliki hak atas tanah tersebut melainkan hak yang dikuasainya terbatas pada rumahnya saja / bangunan itu. Lalu apa yang harus dilakukan kirana? Karena yang dibeli merupakan rumah tempat tinggal, maka kirana proses dari HGB berubah menjadi Hak Milik. Apakah bisa dirubah? Secara praktek sih bisa saja tetapi tidak menutup kemungkinan kantor pertanahan menolak memberikan status HM karena tanah tersebut setelah dilakukan penilaian ulang misalnya tidak sesuai peruntukan diawal atau negara ingin menggunakan tanah tersebut untuk peruntukan lain. Dasar hukumnya bisa dilihat dalam PP terbaru tersebut bagaimana suatu tanah hgb bisa hapus baik itu hgb atas tanah hm, hak pengelolaan maupun tanah negara.

Pembaruan dan perpanjangan hgb diats hm/hpl/tanahnegara, sebaiknya dilakukan beberapa tahun sebelum jangka waktunya berakhir, mengingat proses dan kelengkapan persyaratan dan lain sebagainya sehingga untuk dapat memiliki waktu lebih (tidak mepet). Dalam praktik di lapangan, HGB yang mati jangka waktunya lalu dimohonkan pembaruannya, prosesnya akan berupa seperti tanah yang tanpa sertipikat (seperti melakukan pendaftaran tanah pertama kali) hal ini dikarenakan hgb yang habis jangka waktunya, bisa hapus begitu jangka waktu berakhir.

Dari penjabaran diatas tersebut, dapat ditarik fakta menarik tentang HGB: kesatu, HGB memiliki jangka waktu, kedua, HGB bisa diperbarui setelah jangka waktu berakhir, ketiga, hgb bisa hapus, keempat, HGB dapat ditolak perpanjangan dan atau perbaruannya, kelima hgb dapat diubah menjadi hak milik.

Problema yang timbul mengenai HGB adalah pada saat tidak dapat dilakukan perpanjangan dan atau pembaruan, bagaimana pembeli yang sudah memegang hgb ini. Misalnya, developer adalah pemegang hgb pertama, pembeli adalah pemegang hgb kedua. umpama pada saat Teja setuju membebankan hak miliknya dengan hgb dalam waktu 30 tahun, tetapi pada tahun ke 10, pemegang hgb pertama wanprestasi sedangkan pemegang hgb kedua belum selesai mencicil, Teja lalu bermusyawarah dan deadlock lalu mencabut pelekatan hgb diatas hak milik. Hgbnya bisa hapus atau tanahnya menjadi sengketa.

Kemudian masih banyak masyarakat yang awam dengan penggunaan hgb, jangka waktu sudah berakhir mati sampai 10 tahun lebih tetap dijual belikan, padahal begitu hgb mati jika tidak segera dilakukan pembaruan dan perpanjng, hgb itu kembali menjadi tanah negara, tanah hak pengelolaan atau hak milik. Sehingga yang berhak mengalihkan bukan lagi pemegang hgb (terkecuali pemegang hgb jangka waktu masih aktif, dan masih sesuai peruntukannya atau negara masih mengijinkan) nah gimana kalau ‘pihak tanah’ tidak mau atau tidak bisa memperpanjang lagi? padahal bangunan itu sudah dialihkan ke sekian tingkat.

Ditambah lagi developer tidak langsung memecah sertipikatnya (pecah hgb) sehingga jika ada pembeli yang lunas lalu mau balik nama, luasnya masih utuh sekian persegi (sertipikat induk), jika ‘ga patungan’ bisa lumayan harganya. Misalnya satu areal perumahan luasnya 500 dikapling 5 rumah, per rumah luasnya 100. pembeli rumah kesatu ingin balik nama, jadi pembeli pecah dulu hgb induk 500 itu jadi 2 bagian, luas 100 yang dibeli si pembeli lunas dan 400 luas dveloper. Baru setelah dipecah luasnya 100 masih nama developer ditingkatkan menjadi hak milik. Kemudian pembeli rumah kedua sudah lunas dan mau nyusul juga nih balik nama, maka pembeli rumah kedua pecah dulu hgb induk sisanya kan jadi luas 400 tadi, dipecah dua, jadi 100 dan 300. Begitu seterusnya. Kalau developer mau nanggung biaya pemecahan induk malah bagus banget.

Bicara persoalan di lapangan banyak sebenarnya dan kepanjangan juga kalau langsung ditulis sekalian dalam satu tulisan. Insya Allah kita sambung lagi nanti. Oh ya tambahan, yang bisa dimohonkan hgb berubah hak milik adlaah rumah ya untuk tempat tinggal, jadi kalau ruko ga bisa. Jangan lupa juga cuma bisa dirubah kalau jadi HM kalau itu orang berwarga negara Indonesia. Kalo WNI tapi bukan orang, PT? tetep ga bisa. Kalo orang tapi waktu beli sih masih wni trus jadi wna? tetep ga bisa. Jadi kalau sudah beli rumah dengan hgb, ga masalah ga perlu panik. Masih bisa diubah, selama peraturan belum ada perubahan ketentuan lain. Dan yang mau beli rumah dengan hgb, ga masalah, pilih developer yang memang amanah dan trusted, baca dulu perjanjian, tanya detail soal legalitas dan tanahnya. Kalau masih bingung persoalan tanah dan perjanjiannya, bisa tanya dan datang ke kantor Notaris/PPAT dulu.

Tambahan bacaan mengenai HGB:

Perhatikan 3 Hal Tentang Sertifikat Tanah Sebelum Membeli

Bom Waktu Kasus Apartemen di Jakarta: HGB di Atas Tanah Negara,

Perhatian, Tiga Tahun Sebelum Berakhir, HGB Harus Diperpanjang

Hak Guna Bangunan Dikenakan BPHTB, Ini Penjelasannya

Dampak Berakhirnya HGB Pada Hak Tanggungan

Status Warisan Utang dengan Jaminan HGB Kedaluwarsa

Sebelum Menyewa Atau Membeli Ruko Untuk Tempat Usaha, Perhatikan 7 Hal Penting Ini

Hak Developer untuk Mengatur Pemanfaatan Tanah Ruko

Wewenang Kantor Pertanahan Menolak Perpanjangan HGB

Anda mungkin juga suka...

1 Komentar

  1. […] Baca juga: Ketahui 5 Fakta Tentang Hak Guna Bangunan (HGB) dan Problematikanya […]

Tinggalkan Balasan