Legenda Malin Kundang, acapkali diceritakan untuk menasihati anak agar tak durhaka, atau untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki Ibu; sekali angkat tangan, berdoa pada Tuhan. Sesuatu yang mengerikan terjadi.
Namun, selayaknya sebuah kisah yang tak menawarkan satu sudut pandang; ada hal lain yang menarik untuk dipikirkan, diantaranya untuk dijadikan kritik konstruktif dan reflektif dalam pengembangan diri menjadi Ibu, yang masih relevan dengan isu-isu parenting pada masa kini.
Kerasnya Kata-Kata, Tajamnya Doa.
Peristiwa makbulnya doa Ibu yang dengan cepat terpenuhi, seharusnya disikapi sebagai bentuk peringatan dari Langit untuk tidak mudah mengangkat tangan dan berkata buruk.
Terlepas dari kisah Malin tersebut nyata terjadi atau tidak, meminta manusia menjadi batu yang terdengar tak masuk akal di masa kini, dulunya saja bisa terjadi dengan seketika. Apalagi permintaan yang rasanya tak sampai minta anak jadi batu.
Dalam contoh, Ibu barangkali pernah berkata, “suatu hari kamu akan merasakan rasanya jadi ibu!”-Ibu yang sepertinya dan kehidupannya. Saat menikah, hidup anak pun merasakan segala kesulitan persis seperti yang dialami Ibunya.
Suatu saat lagi berujar, “kalau tak nurut dengan Ibu, celaka kamu!” kemudian anaknya kecelakaan, pulang ke Sang Maha Pemberi Ruh, atau hidupnya diliputi kesusahan.
Karena anak mengantuk menolak membeli tepung di warung, dengan mudah mengecam, “kamu tak akan berhasil kalau tak jadi penurut!”, benar, tak berhasil di hari muda sampai tua.
Tapi apa yang didapat setelah melontarkan kata-kata seperti itu? Tak ada. Tak ada hasil yang baik dari perkataan yang buruk. Walaupun anak akhirnya berjalan ke warung, menurut dan meminta maaf, tak ada jaminan kalimat sederhana yang dikeluarkan saat itu turut berakhir dan tak menjadi nyata di kemudian hari.
Pada kisah Malin Kundang, Ibu dan anaknya sama-sama mengalami akhir yang menderita, kehilangan dan diliputi penyesalan akibat kata-kata. Meski menangis Malin mengakui Ibunya, meminta ampun atas perkataannya, sang Ibu yang menyesal pun tak bisa menarik kata meski ia sangat ingin.
Dalam kisahnya, yang ditunjukkan dalam perwatakan tokoh Ibu Malin tersebut, bahwa Ibu itu manusia. Bisa kehabisan kesabaran dan sangat bisa berkata keliru saat gegabah mengambil keputusan, terutama ketika marah, terluka dan kecewa. Alih-alih berdoa dibukakan pintu hati bagi anaknya, langsung saja Ia minta kutuk dengan hasil akhir, kutuk juga tak membantu menyatukan mereka kembali dalam kebahagiaan sebagai Ibu dan anak.
Doa para Ibu bisa saja terkabul, tapi benar tidaknya nanti akan isinya, terjawab sendiri oleh waktu, ketika anak merasakan dampak dari doa lama yang pernah terucap dari kita.
Meski bermunajat adalah hak tiap orang, tapi Langit sudah mewanti-wanti tentang lidah, amarah, dan ucapan. Yang tak hanya mencelakai diri sendiri, tapi juga orang lain, bahkan yang tak ada hubungannya. Bisa tidak hari ini, tapi nanti.
Begitu dashyatnya efek kata dalam doa yang disertai amarah, dikemas pesan moral dalam kisah legenda yang epik. Andai Ibu Malin menerima kesedihan dan berdayakan akal mencari jalan keluar-semisal menangis meminta Langit membantu beri bukti bahwa dia benar Ibunya-“sambar satu sekoci di kapalnya saja dengan petir” mungkin akan berbeda akhir cerita.
Tak hanya kebahagiaan, anak sekaligus adalah cobaan.
Pun, beberapa kali terlihat di beranda sosial media, ada juga Ibu tak mau mengakui anaknya. Entah karena fisik yang tak sempurna, entah karena perbedaan pendapat, entah karena lainnya. Ibu sanggup mengusir anak karena tak menuruti kehendaknya, membuang anak, menyatakan bukan anaknya lagi.
Padahal diawal, orang tualah yang kerap meminta anak hadir dengan berbagai tujuan; untuk membuktikan mereka subur, lelah ditanya kapan hamil, kapan memiliki anak, untuk menghibur hati yang bersedih, untuk meramaikan keluarga bahkan mengikat pernikahan dan harta.
Calon orang tua sibuk mempersiapkan diri serta mencitrakan diri agar langit percaya Ia sanggup diberi keturunan, lalu diperjalanannya, ketika anak tak sesuai dengan yang dikehendaki, maki dan tinggali. Bukankah itu pengkhianatan pada pernyataan kesanggupan manusia itu sendiri yang sempat diumbarnya kepada langit?
Sang Ibu mungkin merasa, semua orang tetap akan berpihak padanya, mengerti tindakannya, memaklumi dan membenarkan tindakannya, karena dia, Ibu.
Perlu diingat dalam kisah Malin Kundang, kutukan menjadi batu ini didasari kedurhakaan anak yang tidak mau mengakui Ibunya, menghina Ibunya dimuka umum dengan memandang rendah diri dan kehidupan Ibunya. Bukan perbedaan pendapat, perbedaan memilih jodoh, keyakinan religi, jalur pendidikan dan pekerjaan yang ditempuh. Melainkan karena terlontarnya kata dari Malin tak mau mengakui Ibunya, mengingkari usaha Ibu dalam membesarkannya hingga seperti ini.
Dengan menyadari kehadiran anak bisa berbeda di tiap kehidupan keluarga, salah satunya sebagai cobaan dan ujian bagi orang tua, barangkali bisa menambah kekuatan kesabaran bagi seorang Ibu sebelum memutuskan dan mengatakan sesuatu. Tak semua air susu dibalas air susu. Tak semua anak menjadi anak yang di-mau. Menyakitkan memang jika anak melukai Ibu. Tapi jika ada kesempatan menadahkan tangan, kenapa tak coba meminta hal baik dulu?
Kejumawaan Surga
Di lain sisi, ada pula para Ibu yang mungkin saja jumawa, surga di telapak kakinya. Merasa memegang kunci surga, adalah kesombongan yang fatal. Banyak cerita berserak bagaimana pemuka agama pun tak selamat dari neraka karena sombong dengan statusnya di dunia.
Yang saya pahami, kiasan surga di telapak kaki Ibu, adalah untuk menunjukkan lelahnya menjadi Ibu. Hamil, melahirkan, menyusui, melakukan aktifitas yang super banyak, pakai apa? Kaki. Yang ada kaki saja, lelah. Apalagi yang dengan kondisi khusus tanpa kaki? Tidak hamil saja bisa capai jalan, apalagi hamil? Karenanya, terasa masuk akal jika kaki yang dipakai kiasan. Bukan perut, rahim, payudara.
Kaki menunjukkan perjalanan Ibu yang tak berhenti merawat, menjaga dan mengasuh hanya karena sudah melahirkan. Ini yang paling rumit dari menjadi Ibu. Mengorbankan perasaan, mengeluarkan tenaga ekstra, memakan energi yang besar, dalam waktu yang tak singkat.
Tidaklah mutlak bahwa tiap Ibu memiliki surga di kakinya, saya yakin itu. Karena ada yang membunuh dan menelantarkan anaknya, menyiksanya dan berbagai bentuk kejahatan dan kekejaman, yang intinya, tak sanggup merawat dan mengasuh dengan baik. Berbagai cara dilakukan, berbagai dalih dikemukakan. Korbannya bisa dari dalam kandungan sampai dari berbagai usia.
Bagaimana bisa surga ada di telapaknya kalau kakinya saja belum (jauh) mengasuh tapi sudah menghabisi, menyia-nyiakan dan membuang darahnya sendiri? Hamil, melahirkan dan menyusui adalah persoalan science. Jika hamil cukup untuk membenarkan dalih menyiksa anak, Gajah yang hamil 22 bulan akan meringis mendengarnya.
Ibu Malin Kundang dikisahkan berjuang sendiri mengasuh anaknya dari kecil tetapi tidak menyiksa anaknya, himpitan ekonomi mencekik tapi tidak menjual anaknya, bersabar menahan rindu dan menghadapi hidup seorang diri di usia tua ketika Malin meninggalkan dirinya seorang diri, sang Ibu tetap tegar menjalani hari dengan kesendiriannya bertahun-tahun, tentu sangat tidak mudah. Sesakit-sakitnya kisah Ibu Malin Kundang atas perlakuan anaknya dalam berbagai versi yang diceritakan, tak saya jumpai dialog Ibu Malin Kundang menyebut surga di tapak kakinya. Ia tak mengklaim surga ada bersamanya meski segitu beratnya ia merawat anak semata wayangnya selama ini.
Terjalnya pengasuhan yang ditempuh dan dialami Ibu Malin terhadap anaknya itulah yang barangkali menjadikan kualitas doa seorang Ibu. Sehingga, begitu anaknya menyakiti dirinya yang sampai pada tingkatan tidak mau mengakui Ibunya, ada dua karakter yang muncul ketika Ibu Malin mengangkat tangan: sebagai orang teraniaya, sebagai Ibu yang memiliki surga di tapak kaki.
Refleksi Sosok Ibu pada Kisah Malin Kundang.
Kisah Malin Kundang bukan kisah untuk fear mongering ke anak. Tapi juga untuk para Ibu.
Saya termasuk orang yang masih bingung kenapa Ibu mendapat gelar yang begitu luar biasa. Yang dimaknai oleh sebagian besar orang sebagai pembenaran bagi mereka yang menyandang status Ibu untuk melakukan banyak hal yang menyakitkan anak, kemudian berlindung dibalik “aku ibumu! yang melahirkanmu, surgamu di tapak kakiku!” padahal bagaimana ia mengasuh hanya Tuhan yang tahu.
Ini karena saya juga percaya, apapun yang berlebihan itu tidak baik dan pujian adalah ujian yang bisa membuat orang sombong. Ini berlaku, tak terkecuali pada sosok Ibu.
Pernah saya baca sebuah kisah mahsyur. Syahdan, ketika seorang pemuda bertanya siapa yang harus diutamakan untuk dihormati, nama Ibu pun disebut tiga kali untuk dihormati. Secara umum tentu saja kisah itu membanggakan para Ibu. tapi tidak ada yang mencari tahu bagaimana sebenarnya Ibu dari si pemuda yang bertanya tersebut. Kenapa sosok Ibu kandung dari pemuda yang bertanya itu, sampai disebut tiga kali. Bagaimana kehidupan dan pengasuhannya pada anaknya.
Barangkali dengan mengetahuinya, hidung tak sekadar kembang-kempis pongah disanjung pujian, melainkan ada hikmah yang dipetik untuk dapat sekurang-kurangnya mencontoh Ibu pemuda tersebut agar turut pantas menikmati pujian status Ibu, tak serta-merta menikmati pujian tanpa mempelajari bagaimana menjadi seorang Ibu.
(tulisan asli saya ini pernah saya unggah di laman kompasiana 1 Maret 2021 08:13 diunggah ulang pada blog saya ini tanpa perubahan isi dan judul)