Hukum Umum

Kimwasmat Sebelum dan Setelah UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009

Dalam hukum acara pidana terdapat asas praduga tak bersalah / presumption of innocence yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, meskipun seseorang dalam keadaan sebagai narapidana, hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus tetap diberikan tanpa memandang perbedaan bangsa, suku, ras, agama, jenis kelamin, maupun status sosial dan status hukum seseorang.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana terbagi dalam tahap-tahap. Tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pemidanaan. Setiap tahap tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang berbeda-beda, tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, peradilan oleh Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh lembaga pemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut oleh undang-undang diberikan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda.

Penyidik yang melakukan penyidikan secara umum tugas dan kewenangannya adalah mencari dan mengumpulkan bukti. Penuntut umum (jaksa) dengan tugas atau kewenangan secara umum melakukan penuntutan dengan jalan membuat dakwaan dari bahan bukti yang berasal dari pihak penyidik. Hakim dalam tahap peradilan secara umum tugas dan kewenangannya adalah memberikan putusan mengenai salah tidaknya seseorang yang telah diajukan sebagai terdakwa oleh penuntut umum (jaksa) dengan terlebih dahulu melalui proses pembuktian. Terakhir lembaga pemasyarakatan dengan tugas dan kewenangan secara umum pelaksanaan pemidanaan agar terpidana dapat kembali ke masyarakat (resosialisasi).

Sebelum 2009, secara umum, Hakim tidak hanya berperan dalam lingkup tugas peradilan pidana secara sempit yaitu memeriksa dan memutus perkara pidana (ajudikasi), akan tetapi tugas dan kewenangan yang dimilikinya masuk dan mulai sejak dari tahap penyidikan (pra – ajudikasi) sampai dengan tahap pelaksanaan putusan pemidanaan (pasca – ajudikasi).

Pada tahap purna ajudikasi, status seorang pelaku tindak pidana sudah jelas dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut hukum. Dalam posisi yang demikian ini, sebagai orang yang telah dianggap melanggar dan menyimpang dari norma-norma masyarakat, ia harus dibina agar dapat kembali menjadi warga masyarakat yang taat hukum.

Untuk itulah dibentuk system pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Pembinaan merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif. Melalui pembinaan, terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi.

Dalam proses peradilan pidana, ada satu lembaga yang aktif sesudah putusan dijatuhkan yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat). Hakim Wasmat ini ditujukan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dan Pengamat, mempunyai tugas mengawasi dan mengamati agar terdapat suatu jaminan bahwa putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri dilaksanakan sebagaimana mestinya (Pasal 280 ayat 1 KUHAP).

Karena pemidanaan bukanlah untuk menderitakan atau tindakan balas dendam atas perbuatan narapidana melainkan pembinaan narapidana baik secara psikis maupun pisik agar dapat atau siap kembali kedalam lingkungan masyarakat sebagai manusia seutuhnya dan taat pada hukum.

Mengingat inti pengertian “pengawasan” adalah ditujukan pada Jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan, maka perincian tugas pengawasan adalah sebagai berikut:

a. Memeriksa dan menandatangani register pengawasan dan pengamatan yang berada di kepaniteraan Pengadilan Negeri.

b. Mengadakan checking on the spot paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali ke lembaga pemasyarakatan untuk memeriksa kebenaran berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh Jaksa, Kepala Lembaga Pemasyarakatan terpidana.

c. Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam lingkungan tembok-tembok lembaga, khususnya untuk menilai apakah keadaan lembaga pemasyarakat tersebut sudah memenuhi pengertian bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”, mengamati dengan mata kepala sendiri perilaku narapidana sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

d. Mengadakan wawancara dengan para petugas pemasyarakatan (terutama para wali pembina narapidana-narapidana bersangkutan) mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan narapidana, baik kemajuan-kemajuan yang diperoleh maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi.

e. Mengadakan wawancara langsung dengan para narapidana mengenai hal ihwal perlakuan terhadap dirinya, hubungan-hubungan kemanusiaan antara sesama mereka sendiri maupun dengan para petugas lembaga pemasyarakatan.

f. Menghubungi Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Ketua Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP), dan jika dipandang perlu juga menghubungi koordinator pemasyarakatan pada kantor wilayah Departemen Kehakiman dalam rangka menukar saran pendapat dalam pemecahan suatu masalah, serta berkonsultasi (dalam suasana koordinatif) mengenai perlakuan terhadap para narapidana yang bersifat teknis, baik tata perlakuan di dalam tembok-tembok lembaga maupun luarnya.

Mengingat inti pengertian” pengamatan” adalah ditujukan pada masalah pengadilan sendiri sebagai bahan penelitian pembinaan yang akan datang, maka perincian tugas pengamatan adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data-data tentang perilaku narapidana, yang dikategorikan berdasarkan jenis tindak pidananya (misalnya pembunuhan, perkosaan dan sebagainya). Data-data mengenai perilaku narapidana ini dapat berpedoman pada factor (antara lain): type dari perilaku tindak pidana (misalnya untuk pertama kali melakukan tindak pidana, residivis dan sebagainya), keadaan rumah tangganya (baik-baik, bobrok dan sebagainya), perhatian keluarganya terhadap dirinya (besar sekali, kurang sebagainya), keadaan lingkungannya (tuna susila dan sebagainya), catatan pekerjaannya (penganggur dan sebagainya), catatan kepribadiannya (tenang, egosentris dan sebagainya), jumlah teman-teman dekatnya (satu, dua, tiga orang atau lebih), keadaan phychisnya dan lain-lain.

b. Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku narapidana tersebut dengan pidana yang dijatuhkan, apakah lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan perilaku tertentu sudah tepat (dalam arti cukup) melakukan pembinaan terhadap dirinya sehingga pada waktu dilepaskan nanti, narapidana tersebut sudah dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum, data-data yang telah berkumpul dari tugas-tugas yang telah terperinci tersebut di atas hendaknya dilaporkan secara tertulis oleh hakim pengawas dan pengamat kepada Ketua Pengadilan Negeri paling sedikit 3 (tiga bulan sekali dengan tembusan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Kejaksaan Negeri, Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung RI., Menteri Kehakiman RI., dan Jaksa Agung RI. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri meneruskan laporan tersebut pada Hakim-hakim yang telah memutus perkara narapidana yang bersangkutan dapat mereka ketahui hal-hal yang berkaitan dengan putusan mereka. Mengenai saran-saran hakim pengawas dan pengamat yang termuat dalam laporannya itu, hendaknya Ketua Pengadilan Negeri ikut memintakan perhatian untuk dilaksanakan yang bersangkutan, dan apabila dianggap perlu meneruskannya kepada atasannya masing-masing.

Pelaksanaan tugas hakim pengawas dan pengamat hanya ditujukan pada narapidana (tidak termasuk yang berasal dari putusan Pengadilan Militer) yang menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan yang terdapat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri di mana Hakim pengawas dan pengamat yang bersangkutan bertugas. Ini berarti:

a. tidak selamanya seorang hakim pengawas dan pengamat mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan-putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri di mana ia bertugas, akan tetapi dapat juga ia mengawasi/mengamati pelaksanaan putusan Pengadilan-pengadilan Negeri lainnya.

b. adanya kemungkinan seorang hakim pengawas dan pengamat tidak mempunyai subyek pengawasan/pengamatan dikarenakan dalam daerah hukum pengadilan negeri di tempat mana ia bertugas, tidak terdapat lembaga pemasyarakatan.

Tahap-tahap Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut:

  1.    Mula-mula Jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan penagdilan yang ditandatangani olehnya, kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, terpidana dan kepada Pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (pasal 278 KUHAP)
    
  2.    Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui dan ditandatangani juga oleh Hakim pengawas dan pengamat (pasal 279 KUHAP)
    
  3.    Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan serta pengaruh timbale-balik antara perilaku narapidanan dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (pasal 280 KUHAP)
    
  4.    Atas permintaan Hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan Hakim tersebut (pasal 281 KUHAP)
    
       Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP)
    

Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan pula oleh adanya pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. Pada umumnya, setiap lembaga telah mempunyai mekanisme pengawasan dari dalam lembaga sendiri, yang disebut sebagai pengawasan internal. Namun obyektifitas pengawasan yang bersifat internal ini sering kali dipertanyakan, sehingga dianggap masih diperlukan pengawasan yang berasal dari luar lembaga (eksternal).

Pengawasan eksternal dapat berasal dari sesama penegak hukum (sub system lain), dari lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah, dari masyarakat yang dapat berupa lembaga swadaya masyarakat, atau masyarakat perorangan. Untuk tahap pelaksanaan pidana ini, oleh KUHAP telah diperkenalkan suatu lembaga khusus yang pada masa peraturan yang digantikannya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) tidak ada, yaitu lembaga hakim pengawasan dan pengamatan (wasmat).

Keberadan Hakim Wasmat dimaksudkan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan hakim; dan dilaksanakan oleh hakim dengan masa jabatan dua tahun. Dalam prakteknya lembaga ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Dalam temuan di lapangan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri (tersebut) tidak satupun staf atau pegawai di Pengadilan Negeri (tersebut) yang mengetahui siapa yang menduduki jabatan sebagai Hakim Wasmat. Sehingga data yang diperoleh langsung dari sumber pertama sebagai data primer yang dibutuhkan dalam penelitian empiris tidak dapat terpenuhi. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa keberadaaan hakim wasmat di Pengadilan Negeri tidak efektif atau kurang eksis. Hambatan dari berbagai segi yang menjadi alasan tidak efektifnya lembaga ini, mencakup hambatan dari segi peraturan perundang-undangan, hambatan dari segi fasilitas, hambatan dari segi hakim wasmatnya sendiri serta hambatan dari segi aparat penegak hukum lainnya.

Setelah 2009.

UU Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009  BAB X PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 54 ayat (1): Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. (2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. (3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pasal 55
(1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 63: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Ini berarti, kimwasmat masih ada dan belum dihapuskan. Karena kimwasmat sebelum tahun 2009, ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Dan diatur dalam KUHAP, dan KUHAP masih berlaku.
Perhatikan UU Kekuasaan Kehakiman yang terbaru di tahun 2009 pasal 55 ayat (2) tersebut dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 277 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:(1) pada setiap pengadilan harus ada Hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut Hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk paling lama dua (2) tahun.

Dengan demikian, Hakim Wasmat adalah hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan dan diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

***

Martiman Prodjo Hamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, cet.ke-2, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.89

M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) edisi kedua, cet,ke-5, Sinar Grafika, Jakarta, hal.243

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan