EDITOR'S PICK

Ketahui Alasan Para Miliarder yang Memutuskan Resign, Sebelum Ikut-ikutan

“Sandiaga Uno, lulusan summa cumlaude dari Harvard dan sudah pegang jabatan strategis di perusahaan luar negeri, bisa jadi korban PHK, nganggur begitu krismon. Apa kabar kita? Punya jabatan strategis di perusahaan aja enggak. Kapan saja kita bisa dipecat. Sebelum itu terjadi, kita harus segera resign dan bangun usaha sendiri. Kita harus keluar dari zona nyaman”.

Begitulah sepenggal kalimat yang dilontarkan seorang teman saat mengajak saya resign, cukup persisten seperti member Multi Level Marketing yang kejar target, sambil menunjukkan foto-foto pebisnis sukses dan penghasilannya yang mencengangkan dari berbagai akun motivasi.

Tidak salah, tapi teman saya tampaknya tidak menelusuri bagaimana sejarah tokoh sukses yang fotonya banyak dipajang di akun-akun tersebut. Pokoknya, mereka sukses saja.

Padahal, kalau ditilik-tilik, jika perusahaan tempat Uno bekerja tidak jadi korban krisis, apa Uno mau resign? Belum tentu. Kan sering Uno berkomentar kalau keputusannya jadi pengusaha itu ‘kecelakaan’, bahkan saat nganggur pun, Uno tidak kapok untuk terus-menerus mengirim lamaran.

Kisah lain tentang orang sukses berkat resign yang sering dimunculkan beberapa akun sejenis adalah Jeff Bezos, Tirto Utomo, Ahmad Sahroni, dan Rusdi Kirana, yang kalau ditelusuri riwayatnya, mereka resign karena mau buat perusahaan baru.

Usaha yang mereka bangun-sampe bela-belain resign-bukan jenis usaha yang kecil, seperti yang sering di gumamin ‘pengen resign, capek kerja sama orang, pengen usaha, walaupun kecil-kecilan tapi jadi bos untuk diri sendiri, memiliki kehidupan worklife balance, karena usaha milik sendiri dimana waktu adalah kehendak kita’.

Pak Tirto resign, bangun pabrik perusahaan air kemasan. Apa Pak Tirto langsung resign begitu ada ide bisnis? Enggak. Dia resign pas adiknya yang dia utus, sudah pulang bawa ilmu bisnis air dalam kemasan dari Thailand. Apa usaha Aqua dibangun karena passion Pak Tirto bermain di air? Hobinya di air? Kan enggak. 

Bezos resign, bangun perusahaan berbasis internet yang di tahun itu masih langka.Apakah Bezos langsung buka usaha setelah resign ketika melihat data internet yang berkembang pesat? Enggak. Dia mempersiapkan Amazon itu setahunan. Resign tahun 1994. Rilis Amazon tahun 1995. Apa itu bisa dilakukan tanpa backup ekonomi yang mapan? Tidak.

Sahroni resign karena bangun perusahaan dan gerak di bahan bakar kapal. Apakah Sahroni, setelah jadi Direktur-yang sebelumnya merintis dari jadi sopir bosnya, ujug-ujug resign dan bangun perusahaan? Tidak. Dia pelajari dulu seluk beluk bisnis di tempat dia kerja, baru kemudian membangun perusahaannya sendiri.

Agar tidak jadi Kepala di dua tempat-dari jabatan mereka sebelumnya-, makanya mereka lepas jabatan dan kepemimpinannya di tempat lama. Background history-nya jelas berbeda dengan kita yang karyawan biasa, kurang pengalaman, trus pengen resign, padahal belum jelas mau ngapain setelahnya.

Kisah Rusdi Kirana, dalam hemat saya, juga sering di salah pahami. Dianggap tidak memiliki jabatan tinggi seperti kisah sosok sebelumnya, berawal dari sales mesin tik yang resign, tau-tau bisa punya usaha kapal terbang. Bermula dari regulasi penerbangan dilunakin, dia auto ngide buka usaha penerbangan dan galang dana.

Kalau di cermati lagi, setelah dia berhenti jadi sales mesin tik, dia diajak buka usaha biro perjalanan sama saudaranya, kan? Artinya dia juga pendiri biro perjalanan udara yang dibangun bersama saudaranya alias Co-founder bukan sekadar ‘calo tiket’. Berarti itu orang berpengalaman ngelola bisnis. Dia sampe bisa galang dana segitu besar dari orang-orang kan bukan hasil hipnotis, “tatap mata saya….” Artinya dia paham usaha yang dia mau geluti itu sehingga dapat untuk menarik orang tanam modal.

Moshok dia dateng ketok pintu cuma bilang “permisi, saya calo tiket yang mau beli pesawat. Ada yang mau bantu?” trus tanpa tanya-tanya lagi, orang itu ngasi duit gitu aja “ambell semua duit sayahh, beliii pesawat yang kamu mau Rusdi, beliii”. Sepertinya tidak ya.

Ke-semua tokoh tersebut punya basic dalam mengelola bisnis. Sehingga begitu menemukan peluang bisnis, bam! Tarik sis. Semongko! Mereka pun berani resign. Mereka berani menggelontorkan dana sekian banyak untuk bisnis baru, karena mereka sudah paham betul bisnis yang mau digeluti, sudah ada perhitungannya, backup finansial yang mumpuni, link dan koneksi relasi. Singkatnya, usaha yang hendak dibangun memiliki fondasi kuat.

Juga, ditopang hasil mereka belajar di tempat kerja sebelumnya dan pengalamannya bekerja, digunakan dan aplikasikan dengan sebaik-baiknya dalam membangun dan menjalankan bisnisnya. Entah usaha barunya nanti linier dengan tempat kerjanya, entah berbeda. Yang jelas, basic bisnis itu mereka punya.

Keputusan mereka bukan coba-coba peruntungan dan tidak melepas emas demi tembaga, katakanlah begitu. Tapi melepas segala fasilitas jabatan yang dahulu, dengan usaha baru yang mereka tahu ini layak di-nekat-in karena bisa menghasilkan berlian.

***

Keinginan resign jelas tidak salah, sayangnya, kalau hanya terpesona dengan kisah jatuh bangun mereka bangun usaha, harta mereka, yang sering diposting akun bisnis untuk memotivasi-yang lama-lama serasa menebar fear mongering-, tetapi bukan latar langkah yang mereka ambil, akan membuat kita tidak objektif menyesuaikan kesuksesan mereka dengan kenyataan kita.

Padahal itu juga penting untuk diketahui, bahwa mereka resign bukan karena ngikutin passion, dikejar usia atau balapan dengan hidup orang lain seperti “yang lain sukses, kita kok masih segini-gini aja?”, menjalani hobi, makanan di kantin ga enak, naksir bos, ribut sama karyawan lain, capek digosipin, merasa jadi budak korporat. Bukan. Tapi ada hal lain yang besar, yang mereka ciptakan, bahkan beberapa diantaranya sukses dalam usia yang sudah tak cukup muda.

Memang, mengandalkan keuangan dari satu sumber pemasukan saja juga bukanlah perhitungan yang matang. Itu kenapa banyak pengusaha tidak hanya bergelut di satu sektor. Tapi tak ada salahnya berhati-hati dan pelan-pelan mengamati sebelum eksekusi.

Agar tidak merasa menjadi budak di tempat kerja, manfaatkan balik saja mereka, sebagai tempat belajar, ngasah mental dan skill. Cermati bagaimana sistem tempat bekerja, pelajari bagaimana tempat kerja yang sekarang  mengelola dan mempertahankan usahanya, kekurangan dan kelebihannya. Sembari bangun koneksi, relasi, dan mempersiapkan dana, jangan lupa, mental.

Kerja yang jelas dapat gaji aja bisa banyak ujian dan kejiwaan terguncang, apalagi buka usaha sendiri dan ngegaji orang nanti? Mempertahankan pekerjaan saja sering bikin tidur tak nyenyak, apalagi mempertahankan usaha nanti? Yakin akan mendapatkan worklife balance kalau memiliki usaha sendiri? Belum tentu, jika tidak memahami time management.

Mendadak teringat saya akan kira-kura. Kura-kura lamban karena memang lamban, tapi konsistensilah yang membawanya pada garis akhir.

(tulisan ini pernah saya muat di laman kompasiana 2 Februari 2021   16:25, dimuat ulang di blog saya ini tanpa perubahan isi)

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan