Hukum Umum

Dasar Hukum Kenapa Laki-Laki yang Memberi Nafkah

Dalam sebuah hubungan, pastilah ada hak dan kewajiban. Pun dengan hubungan keperdataan antar manusia, termasuk di dalamnya hubungan perkawinan yang diatur hak dan kewajibannya, baik dalam hukum bernegara, maupun dalam agama, termasuk persoalan nafkah materi.

Pengertian nafkah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “1 belanja untuk hidup; (uang) pendapatan: suami wajib memberi — kepada istrinya; 2 bekal hidup sehari-hari; rezeki”.

Nafkah materi dalam hukum umum.

Pasal 107 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukun Perdata berbunyi: “Setiap suami berwajib menerima diri isterinya dalam rumah yang ia diami. Berwajiblah ia pula, melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukan dan kemampuannya“.

Pasal 34 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyebutkan: “(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya“.

Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan: “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”

Dari ketiga peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa kewajiban memberi nafkah tanggung jawabnya ada pada suami. Meskipun UU PKDRT tidak menyebut jelas kata ‘Suami’, tapi frasa ‘orang’ tersebut dapat pula berarti suami.

Jika sudah diatur dalam suatu peraturan, bilamana tidak terpenuhinya hak dan kewajiban, tentu ada konsekuensi lanjutan. Berkaitan dengan hal ini, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke Pengadilan sebagaimana bunyi Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan, sebagai berikut: “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”

Dalam tingkatan tertentu, seperti ada hal-hal lain yang berat yang memenuhi unsur penelantaran, istri dapat mengajukan tuntutan pidana atas penelantaran yang dilakukan suami dengan hukuman berupa pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda uang paling banyak 15 juta rupiah, sesuai dengan bunyi Pasal 49 huruf a UU PKDRT.

Konsekuensi ini yang jarang disadari para pasangan yang sudah menikah dan jarang diketahui pada pasangan yang hendak menikah.

Nafkah Materi dalam Hukum Islam.
Pasal 80 ayat (2) dan (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan:
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:    
a.nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;    
b.biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;    
c.biaya pendidikan bagi anak.

Dalam buku nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama, ada halaman yang berisikan Sigat Ta’liq yang memuat empat hal pernyataan janji suami kepada istri, salah satunya tersebut pada nomor dua; tidak memberikan nafkah wajib kepada istri selama 3 bulan lamanya, maka istri bila tidak ridha, bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan dan jatuh talak satu pada pernikahan mereka.

Diberikannya waktu tiga bulan untuk memenuhi kebutuhan nafkah materi kepada istri, karena dianggap tiga bulan tersebut adalah usaha maksimal yang bisa dilakukan seseorang agar tidak menyiksa batin serta pikiran wanita dalam waktu yang lama.

Misalnya, suami memiliki rejeki yang cukup tapi sengaja memberi istri jumlah yang kurang bahkan tidak sama sekali, taruhlah batas kesabaran istri adalah tiga bulan. Selama 3 bulan diharapkan suami mau dan bisa berubah. Jika tidak, dan istri tidak ridha, maka tak perlu menunggu suami menalak atau terlontar kata talak dari suami, sebab istri bisa mengajukan gugatan dan jatuhlah talak 1 dari suami.

Misalnya lagi, suami baru kena PHK, diberi waktu tiga bulan untuk segera mendapatkan penghasilan, karena kalau waktunya lama lebih dari 3 bulan, setahun misalnya, dikhawatirkan suami akan bermalas-malasan, tenang-tenang saja merasa waktu masih panjang, sedangkan anak dan istri kesusahan.

Kenapa harus laki-laki?
Pasal 31 ayat (3) UUPerkawinan menyebutkan: “suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga”.

Bunyi pasal tersebut juga sama dengan bunyi Pasal 79 ayat (1) KHI, yang pada ayat (2) selanjutnya menyatakan: “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”

Dikarenakan kehidupan sudah berbeda dengan jaman dulu–sewaktu pemenuhan kebutuhan dapat diberikan tanpa uang, karena masih bisa bercocok tanam, berternak, memiliki ladang, baju belumlah terbuat dari benang yang diolah sedemikian rupa hingga menjadi pakaian, masih jalan kaki, tak mengenal transportasi. Belum ada institusi dan lain sebagainya–materi, selanjutnya menjadi penting di jaman kini.

Jika dilihat secara biologis, perempuan dapat mengandung dan melahirkan. Bilamana istri hamil, bagaimana caranya perempuan mencari nafkah selama hamil hingga melahirkan? Jikalau pun pada usia kehamilan muda masih dimungkinkan bekerja, bagaimana jika usia kehamilan tua? Saat dokter meminta banyak istirahat dan tidak stres, masihkah perempuan juga yang bekerja? Bagaimana pemenuhan gizi dan keperluan ibu dan anak nanti? Belum lagi nifas. Belum lagi larangan dari dokter untuk tidak mengangkat beban berat sehabis melahirkan.

Kalaupun belum hamil, perempuan juga mengalami kram tamu bulanan, bagaimana tersiksanya perempuan bekerja dalam keadaan mencengkram perut? Dan mood yang seringkali amburadul?

Maka pertimbangan logikanya, laki-laki lah yang utamanya bertanggungjawab pada urusan mencari nafkah materi. Akan tetapi janganlah risau, baik hukum umum maupun khusus, juga tak serta-merta memberatkan suami.

Tak ada aturan hukum menyebut nominal jumlah pasti yang harus diberikan. Semua didasarkan pada kemampuan, kesanggupan, dan kemauan penerimaan istri. Tentu saja dengan cara yang baik dan patut. Jangan sampai punya rejeki cukup dan mampu, tapi kikir dan memberi istri kurang dari yang dimiliki bahkan dzalim dengan tidak memberikan nafkah sama sekali.

Keterbukaan Nafkah Materi Sebelum Menikah
Pihak perempuan tak perlu merasa tabu membicarakan persoalan uang bila khawatir akan dianggap matrealistis. Ini dilakukan agar kelak istri tidak kaget dengan jumlah nafkah yang diterima, kemudian merasa kecewa, dan terjadi keributan dalam rumah tangga, serta agar istri juga tak disangka tak bersyukur saat mengajukan protes jika memang kurang (bukan diberi lebih tapi merasa kurang). Yang paling penting, ini menyangkut hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum.

Laki-laki pun tak perlu merasa insecure dengan kewajiban ini. Sebab Pasal 80 ayat (6) KHI mengungkapkan: “Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.”

Artinya, selama bukan tentang nafkah kepada anak (pasal 80 ayat (4) huruf c KHI), istri dapat tak membebankan persoalan finansial suami yang seharusnya menjadi kewajiban. Karenanya komunikasi ini menjadi perlu.

Contoh dialog:
Calon suami: “Jika kita menikah dengan biaya pernikahan dan bulan madu yang dananya didapat dari hutang, penghasilanku terpotong hutang jadi sisa sekian. Kesanggupanku untuk memberi nafkah pangan berarti sekian, itupun setelah dipotong anggaran papan. Untuk sandang ga bisa rutin tiap sebulan atau tiga bulan, tunggu rejeki lebih baru bisa belikan sandang dan hal-hal lain”.

Calon istri: “Nanti sandang dan skincare aku bisa beli dari hasil kerjaku. Kamu ijinkan aku lanjut kerja setelah menikah. Kalau tidak diijinkan kerja, buatkan usaha saja kalau sudah ada modal. Biar aku juga bisa bantu pemenuhan sandangku sambil kamu usaha penghasilanmu naik. Sisanya bisa kita tabung buat jalan-jalan, hiburan atau investasi”.

Gimana? Cukup adem kan negosiasinya?

Susah senang bersama dalam keuangan artinya menikmati nafkah materi dari kejujuran kesanggupan suami dalam memberi dan keikhlasan istri yang tidak memberatkan suami, yang secara sadar sudah disepakati.

Sudah bukan rahasia umum lagi, dalam kehidupan rumah tangga, persoalan nafkah materi ini nantinya berkaitan juga dengan kebahagiaan dan kesehatan mental dalam hubungan berumah tangga. Senada dengan sebuah artikel yang dipublikasikan pada bulan Juli tahun 2020, di laman situs Mind, sebuah organisasi bantuan kesehatan dan kemanusiaan di Inggris yang berfokus pada kesehatan mental diakibatkan karena persoalan keuangan, berjudul “money and mental health are connected” yang jika diterjemahkan bebas isinya berarti; mengkhawatirkan uang dapat memperburuk kesehatan mental seperti memicu anxiety, depresi, gangguan tidur, perasaan merasa asing. Singkatnya hidup jadi kurang tenang.

Ketidaktenangan ini tentu akan memberikan efek pula dalam rumah tangga dan anggota keluarga lainnya misalnya anak-anak. Sehingga pembicaraan kewajiban nafkah materi sebelum memutuskan menikah dapat memberikan manfaat, tak hanya bagi perempuan, bagi laki-laki yang mengusahakan memenuhi kewajiban pun dapat tak merasa beban karena sudah ada pembicaraan sebelumnya mengenai pengaturan keuangan.

Karena sekalipun jiwa dan mental sudah dirasa siap menikah dalam usia untuk dapat melangsungkan perkawinan yang sekarang menjadi minimal 19 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidaklah menjadi jaminan pada usia tersebut sudah memiliki penghasilan yang cukup dan pemahaman hak dan kewajiban mengenai nafkah dalam pernikahan. Untuk itu, menjadi penting membicarakan persoalan nafkah materi sebelum melangsungkan pernikahan agar tujuan pernikahan yang arif dapat tercapai dan langgeng.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan