Childfree atau keputusan untuk tidak memiliki dan atau juga melahirkan anak apakah bisa menjadi salah satu langkah kebebasan finansial? Ini bukan tulisan gosip.
Ada berbagai macam faktor dalam pengambilan keputusan untuk childfree atau tidak memiliki anak, bisa jadi karena ada penyakit baik itu dari gen maupun bukan, yang beresiko diturunkan ke anak, atau juga keinginan yang masih ingin meniti karir, menjelajah kehidupan, beratnya parenting, traumatis – seperti tidak mudah percaya anak dipegang orang lain misalnya pembantunya atau baby sitter – bisa juga karena kakek-nenek sudah tidak ada atau tidak mau memberatkan keluarga saat kerja, anak ‘dititip’. Atau kesehatannya memang tidak bisa memiliki anak tapi penilaian orang tentang perempuan yang ga punya anak itu mayoritas dramatis-kejam-sadis-banget ketimbang mengusung keputusan childfree. Ada juga yang memilih voluntary childfree karena alasan filosofis-idealis: dunia bukan temoat yang nyaman lagi untuk ditinggali. Yeah, kadangkala manusia memang dihadapkan pada opsi-opsi menarik.
Tapi ada juga yang saya yakinnya, meski tanpa research, di dalam hati beberapa manusia, ada yang menyesali memiliki anak di tengah ekonomi yang kurang signifikan perkembangannya. Atau, ada yang memang tidak ingin memiliki anak karena merasa akan membebani dirinya sebagai orangtua, atau juga membebani anak kelak, atau juga karena sedang berproses menuju keuangan yang lebih sehat dan stabil, baru memiliki anak. Let’s focus on it.
Sebagai seorang Ibu yang memiliki 3 anak dengan usia yang tidak jauh, anak sulung sekarang 5 tahun, dua lagi kembar berusia 2 tahun, I can tell you that parenting is really really exhausted. Membosankan dan menguras emosi. Kelelahan fisik dan psikis, terlebih kalau berada di unsupportive system, bahkan toxic barangkali, belum lagi jika juga memiliki peran sebagai pekerja, the pressure is getting real. I can totally understand why some of us choose to be a voluntary childfree. Karena yang tampak di media-media, kriminalitas, gangguan psikis dll, ada juga sedikit atau banyak, dikarenakan peranan beratnya pengasuhan anak.
Meski banyak yang bilang anak itu bawa rejeki masing-masing, tentu saja, tetapi rejeki tidak sekedar materi kan? ada anak yang bawa rejeki kebahagiaan, ada anak yang bawa rejeki milyaran, ada anak yang bawa rejeki ratusan. Apa lantas agama (jika jadi basic argumennya) salah? Naudzubillah tentu tidak.
Begini, rejeki itu sudah ditetapkan dan dijamin, dan mostly bersifat rahasia. Yang disayangkan jika mengartikan anak sebagai pembawa rejeki keuangan semata saja.
Sebagai manusia yang hanya bisa berusaha, banyak anak banyak rejeki bisa jadi perhitungan yang tidak salah juga, misalnya anak sulung rejeki ratusan, anak tengah rejeki puluhan, anak ketiga ratusan, anak keempat milyaran. Kalau digabung ya bisa banyak juga rejekinya. Itu kalau orangtuanya pandai mengatur uang dan mengelolanya.
Tapi bukan begitu saja konsepnya. Kompleksnya, jika anak sulung rejeki ratusan tapi gaya milyaran, maka rejeki anak keempat bisa bantu nutup anak sulung. Dan begitu seterusnya. ‘Permainan mengatur keuangan’ ini yang seringkali, termasuk saya, kewalahan dan sering lolos.
Sewaktu saya hamil anak pertama, dan ikut suami ke luar pulau, rumah kami yang baru saya tempati ini kerampokan, jangankan perhiasan, sepatu sama kotak-kotaknya, tv sama kotak-kotaknya juga blas diangkut. Selamat karena mendadak beberapa jam sebelum itu terjadi, saya kepengen nonton di bioskop dan pengen kongkow. Alhamdulillah syukur bukan main, anak dalam kandungan itu ngajakin nonton dan ngejus-ngejus cantik.
Waktu terus berjalan, dan tiba lahiran anak sulung, ibu pemula seperti saya bahkan ga kepikiran google untuk nyiapin ini itu, pas lahiran di kampung halaman, nyaris selembar baju pun saya ga beli untuk si anak, saking banyaknya yang ngasi baju, bahkan stroller pun saya ga punya, eh dapat dari kado. Sedangkan pekerjaan saya lagi bagus tuh, harusnya disini saya bisa saving much money, karena walaupun punya anak, tapi kebutuhan anak hampir 100 persen disupply tanpa demand oleh keluarga dan kerabat sekitar. Adaaa aja yang ngasi tanpa ngode atau minta. Tapi apa saya langsung kaya raya? Tidak. Belum.
Lalu hamillah dan lahirlah si kembar bayi-bayi fraternal lucu ini, usia sama, saat itu keuangan justru lagi down, saya merantau ikut suami lagi, kali ini ke lampung bersama anak sulung. Saya dan suami sepakat bagi keuangan, saya bagian persiapan sarana prasarana bayi, suami bagian kesehatannya, ya kontrol dokter, vitamin, susu, makan dll. Pas dapet jadwal sesar dari dokter kandungan, barulah saya tahu suami belum pegang uang untuk persiapan, tapi hormon saya Alhamdulillah moodnya selalu bagus waktu hamil kembar (yang berantakan cuma wajahnya jadi berminyak, jerawatan, jamuran, dakian), tiba-tiba kurang dari seminggu jadwal sesar, suami dapat pekerjaan borongan yang bayarannya plek ketiplek setelah dihitung-hitung pas untuk lahiran sesar, dari saya dirumah sakit sampai saya keluar rumah sakit. Sampai rumah, blas habis.
Waktu terus berjalan, anak-anak kian tumbuh, sore saya dapat uang laba kerja, baru saja sampe rumah, eh si anak tengah tangannya kena air panas dispenser, langsung bawa berobat. Suatu pagi di lain bulan, dapat lagi uang yang lumayab, eh ga pake lama, anak jidatnya robek pas mainan, auto dijahit 4 jahitan.
Trus, apakah dengan memiliki 3 anak keuangan saya langsung menyaingi pemilik ms glow? masih tidak. Belum.
Jadi, apakah anak bukan pembawa rejeki? jika kita hanya melihat rejeki soal uang saja apalagi kalau uangnya tiba-tiba ada terus begitu, dan ngarepnya effortless lah, semacam habis lahiran langsung kaya mendadak tapi kok segini-gini aja dan ngerasanya ada uang dikit habis-habis buat anak, dst, ya jelas anak bukan pembawa rejeki.
Hati-hati dengan ujaran “kita ini bisa aja kaya raya, kalau aja uang ga habis untuk anak“. Sepele tapi terdengar kufur nikmat. Astagfirullah..alih-alih dibukain rejeki malah ditutup rejeki. Naudzubillahimindzalik.
Ada banyak orang-orang diluar sana yang hidup lebih dari cukup meski tanpa anak. Sehingga anak, bukanlah sumber keuangan, bukan sumber rejeki uang kita. Tapi rejeki anak jauh lebih banyak dari itu.
Misal, kenapa waktu belum punya anak, aset kita taruhlah mobil satu dan motor satu, tapi pas punya anak, bisa beli sawah, trus pas anak dua dan tiga dan seterusnya, bisa punya emas, saham, rumah, villa mobil sport dan lain-lain?
Bisa jadi karena orangtuanya memandang anak bukan sebagai sumber rejeki keuangannya, bukan tuyul yang konon dipelihara disusui trus bisa pergi dan pulang bawa uang. Tetapi karena dia melihat anaknya sebagai sumber kebahagiannya. Dia ingin memberikan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan yang baik dan sebisa mungkin melindunginya dari kegetiran duniawi. Sebelum punya anak dia kerja 6 jam, setelah punya anak dia kerja 12 jam. Sebelum punya anak dia cuma ada satu pekerjaan, setelah punya anak apa aja dikerjain. Sebelumnya malas nabung, begitu punya anak dia rajin nabung, sebelum punya anak ga melek investasi dan jangka panjang, setelah punya anak tiada hari tanpa memikirkan masa depan anak dan warisan buat jaga-jaga kalau dirinya sebagai orangtua mati muda. Sebelum punya anak malas ibadah, setelah punya anak auto sujud lebih lama. Dan sebagainya seterusnya lain-lain.
You see? perbedaan perspektif mempengaruhi langkah yang diambil, langkah yang diambil mempengaruhi hasil yang diterima. Ada tidaknya anak, satu atau lebih jumlahnya, tidak menentukan fluktuasi keuangan bisa Break Even Point.
Lantas apakah ini bisa dibilang mereka yang kurang mampu secara ekonomi, berarti mereka ga usaha jumpalitan cari rejeki dan apa mereka berarti nganggep anaknya kayak tuyul?
Well, who am I to judge? memikirkan hal yang positif lebih cepat dilogikakan daripada hal negatif. Tapi realita ini ga bisa kita abaikan begitu saja, karena memang nyata ada yang sudah usaha keras, ibadah luar biasa (whatever they’re believe in) tapi ekonominya ga naik-naik. Again, anak bukan rejeki uang semata. Mungkin saja, dengan dia (anak kakek) punya anak, kakeknya tiba-tiba punya semangat untuk sembuh dari sakit karena ingin main sama cucunya, dan semangatnya itu, dan usahanya rupanya memberi hasil positif bagi kesehatannya. Mungkin juga itu jadi cobaan penggugur dosa yang lampau. We never know of what’s exactly going on in every human’s house.
Ada juga yang sebelum punya anak, asetnya banyak, harta banyak, pas punya anak dan membesarkannya, ekonomi terjun bebas. Orang seringkali luput, anak – artinya setiap manusia, karena kita adalah anak dari anak – sudah dijamin rejekinya. Sekaligus anak juga ditakdirkan bisa menjadi cobaan bagi orangtuanya.
Kembali, niat adalah fondasinya. Keinginan memiliki anak sebaiknya bukan demi mendapatkan keuangan yang lebih baik, karena gambaran diatas secuplik pengalaman yang membuktikan anak tidak sepenuhnya jadi sumber rejeki. Menganggap anak sebagai sumber rejeki keuangan akan berpengaruh juga pada pola asuh nantinya, berharap mereka balas budi dengan angka-angka, berharap anak adalah investasi jangka panjang yang bisa dipetik hasil uangnya suatu hari, yang bisa dibebankan finansial di suatu hari. Tapi memang tak mudah untuk menjaga semangat kita sebagai orangtua yang terus memacu diri ingin memberikan kehidupan yang baik untuk anak sampai kita tinggal landas di akhir. Siapa yang tak membayangkan di usia senja, berhenti kerja, pengen ini itu ada anak yang kasi, minta ini itu anak selalu beri, kita duduk manis beribadah nenunggu maut tiba dan masuk surga?
Menutup tulisan ini, saya teringat salah satu bait stand up comedy satir dari dave chapelle yang terkesan kasar tapi ada poin sentilannya yang menurut saya lebih menggambarkan pada keinginan wanita mutlak atas dirinya dengan mengabaikan sudut pandang yang lain, kurang lebih terjemahan bebasnya “begitu wanita ingin aborsi, kita harus menyetujuinya karena itu badannya, tubuhnya, haknya, padahal kita tidak ingin itu terjadi. Tapi jika wanita menginginkan anaknya lahir, dan kita tidak menginginkan anak tersebut, maka anak itu tetap dilahirkannya karena itu tubuhnya, haknya, tapi kenapa biaya kehidupan anak minta ke kita?”
Keputusan untuk tidak memiliki anak, apapun alasannya, termasuk karena keuangan, sah-sah saja. Tapi benar tidaknya pilihan itu, sekali lagi, hidup ini sering dihadapkan dengan opsi-opsi yang menarik. Plus, who are we to judge others?
Setiap manusia ada rejekinya masing2.. jadi kalau kita nambah anak, yaaa nambah sumber rejeki.. tapi hrs dipahami jg rejeki tiap manusia beda2, harus bersyukur dapat berapa pun.. jadi jangan baper kalau nominalnya gak sesuai ekspektasi.. tapi syukuri saja supaya nikmatnya selalu ditambah dan insyaa Allah akan jadi lebih dari ekspektasi..
agreed 🙂