Mengatasi rasa bosan berbeda dengan mengatasi rasa kesepian, setidaknya buat saya. Kesepian lebih mudah diatasi dengan bepergian, nonton konser musik, kulineran, atau apapunlah. Walaupun dikerjakan dan dilakukan sendiri, kesepian bisa hilang dengan berbagai aktivitas. Yang sulit saat bosan menyergap. Nonton, bosan. Masak, bosan. Denger musik, bosan. Apapun yang dilakuin, rutin-non rutin, hal baru atau lama tetap berujung pada perasaan yang hambar. Bosan.
Dari dulu saya benci merasa bosan. Karenanya bisa dibilang saya ga punya hobi atau kebiasaan yang rutin saya lakuin dari dulu hingga sekarang. Saya berusaha menjaga hidup saya dengan ga melakukan kegiatan yang itu-itu saja. Saya menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan tiap harinya tetapi bukan hal yang rutin. Masa sebelum menikah adalah masa-masa yang nyaris tidak membosankan.
Sekarang, saat usia bertambah, rutinitas yang saya miliki hanya kerja dan ibadah yang wajib saya lakuin. Selain itu saya ga ada kegiatan, apalagi setelah bercerai dan sulit bertemu dengan anak-anak. Yang satu tinggal dengan papanya dan saya masih sekota dengan papanya karena pekerjaan mengharuskan. Tetapi sulit bertemu dengan anak sendiri. Hehe. Dan dua anak saya tinggal di kampung saya di Bali bersama kakek-neneknya yang sudah pensiun. Itu permintaan kakek-neneknya (orangtua saya) karena saya tinggal di perantauan dan masih kontrak, usia mereka masih 3 tahun, dan sebagaibya. Sehingga rutinitas bermain dengan anak, jagain anak, ngomelin anak haha dan hal-hal lain itu tiba-tiba lenyap. Saya sendirian.
Apakah saya menyesal bercerai?
Tidak. Karena saya sadar, pernikahan bukan sesuatu yang utama yang harus dipertahankan. Anak-anak yang broken home bukan berarti berasal dari pernikahan yang putus. Memiliki orangtua yang toxic juga mengganggu mental anak-anak. Kadangkala sosial media sengaja atau tidak, menyudutkan rumah tangga yang orangtuanya tidak bersama adalah penyebab rusaknya moral dan mental anak-anak. Tapi ada banyak sekali anak yang menjadi preman, pembully dsb juga datang dari keluarga yang orangtuanya masih terikat pernikahan. Bukan berarti saya mendukung orang-orang bercerai. Saya mendukung hubungan yang sehat.
Kenapa saya biasa-biasa saja saat bercerai?
Sederhananya, jika suami-istri dalam pernikahan sudah tidak menjalani hubungan yang sehat lagi pasti sering timbul emosi. Dua orang dewasa yang sedang emosi membuka peluang untuk melampiaskan emosi ke anak-anak. Anak-anak mendapatkan emosi dari dua orang dewasa. Berpisah berarti mengurangi ‘pelaku’ emosi. Mengurangi ‘alasan’ emosi. Dulu apa-apa bisa jadi bahan marah. Stres sama kerjaan, finansial, kesehatan, hubungan suami-istri, keluarga yang ada karena perkawinan (mertua, ipar, dll), anak-anak, pendidikan, perbedaan pandangan, bahkan mengalah dan menerapkan anger management pun masih bisa emosi.
Tampaknya perceraian ini ada hubungannya juga dengan bosan. Bosan bertengkar. Bosan menahan sabar. Bosan mengiyakan. Bosan merasa tertekan. Bosan menjalani hubungan yang playing victim. Bosan dengan hal-hal yang ga bisa saya rinci tapi terus terjadi. Ga cukup dari satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang. Wow! Menuliskannya saja serasa mau meledak. Se-seram itu mengingat how I surrounded by abusive verbal and act for a long time.
Dengan berpisah, anak-anak tidak perlu lagi menerima emosi dari kedua orang tua. Dan orang dewasa tidak perlu lagi menahan beban demi beban yang timbul dari hubungan yang abusive, toxic, manipulative. Anak-anak sudah cukup terluka, diri sendiri sudah cukup terluka. Move out. Especiallyy when he already opened the door for you to leave. Don’t broke more what’s already broken. So cut the shit out of life.
Menyadari hal tersebut tentu saja saya biasa-biasa saja. Apakah saya menangis? Ya, sekali. Waktu persidangan karena kesel saja rasanya Majelis Hakim ga ngerti keadaan saya. Padahal di gugatan ada semua poinnya.
Tentu saja disini saya ga akan nulis tentang kenapa kami bercerai. I respect my own privacy. So don’t event bother to ask ’cause I won’t bother to answer. Cerita bisa berbeda dari mulut ke mulut, sekalipun ceritanya berlainan versi sana dan sini, saya bahkan ga tertarik untuk meluruskan. Saya fokus sama tiga anak-anak kandung saya. Bagaimana memberikan mereka tempat hidup yang layak. Memberi tabungan jika saya tiada. Menjalani hidup yang baik agar mereka mengenal saya jika mereka terlalu dini saat saya tinggalkan. Itu sebabnya instagram saya tidak private. Saya ingin mereka masih bisa melihat bagaimana saya menyayangi mereka dari highlight dan psotingan di instagram, bagaimana saya menjalani hidup saya dan berharap mereka memetik sesuatu darisana.
Apakah saya terpikir memiliki pasangan baru?
Hm.. i don’t think so. Bukan yang menutup diri, tapi memang dari awal saya niatkan setelah berpisah saya ingin fokus dengan kesehatan fisik dan mental anak saya, pendidikan mereka, finansial mereka. Kalau ada yang berpikir mau ngedeketin saya karena saya janda dan butuh kasih sayang lelaki? hueekk hahahaha
Tapi untuk teman, ya tentu saya butuh. Masalahnya di usia saya, saya ga mau ngasal aja berteman. Yang penting baik itu udah ga berlaku sih buat saya. Capek batin dimanfaatin. Saya butuh temen yang talkactive, humoris, mau coba berbagai hal yang baru dan seru, ga berteman karena mungkin dilihatnya saya kerja mungkin punya koneksi dan uang bisa bantu perekenomian dia apalagi keluarganya, nope. Bukan juga yang baru kenal langsung “kamu jangan ngerokok”, “kamu sudah makan? nanti sakit lho” ilfeel banget bosque.
Jadi gimana saya melalui hari-hari setelah bercerai?
Biasa saja. Seperti hari lainnya. Hingga bosan datang menyapa. Nah ini. Wajar sih. Bosan ini tidak datang waktu setelah bercerai, spesifiknya dia terasa saat anak-anak ga sama saya aja. Kerja dari pagi samapi sore, kelar kerja ngurus anak sampai mereka tidur. Ga bisa disambi ambil kerjaan lain atau nonton di laptop pun susah. Pas mereka ga lagi sama saya, otomatis saya puunya banyak waktu yang bisa saya pergunakan uuntuk lakuin apa aja tapi karena terbiasa ga ngapa-ngapain selain nguurus anak jadinya biingung. Ini mau ngapaiin ya saya?
Kemudian saya berusaha ‘mewajibkan’ diri saya untuk menulis, memasak, nonton, bepergian sendiri atau bersama teman dan keluarga, tapi tetap saja saya merasa semua itu belum bisa mengurangi kebosanan. Saya beli gitar listrik dan ngulik chord lagi. Saya bahkan ingin beli biola dan alat lukis (belum tercapai). Masih juga, bosan belum mau pergi. Susah. Sulit.
Saya scrolling media sosial, follow akun-akun motivasi tapi semangatnya masih belum ada. Semakin dipaksa semakin ga bisa. Akhirnya saya pasrah. Saya bahkan bisa tidur selama 14 jam sehari, 12 jam sehari, 18 jam sehari. Bukan jumlah akumulatif. Tapi memang begitu memejamkan mata, tidur hingga berjam-jam lamanya. Makan, minum, mandi terlewat. Ibadah juga terlewat. Saat bangun, saya sering langsung lari keluar kamar dalam keadaan bingung. Saya ada di dimensi mana, apa ini kamar saya? ini hari apa? dan begitu terus. Terlebih saat saya mendapati diri saya sendirian, saya merasa saya adalah arwah yang berjalan. Hati saya menjerit nangis. Saya duduk lama di kursi sebelum akhirnya saya sadar, saya masih hidup.
Saya sampai benci hari libur. Saya benci jam kerja yang usai. Lalu saya mulai membenci rasa ngantuk. Saya takut tertidur. Hingga saya memaksakan diri saya kali ini, sekali ini lagi, untuk melakukan hal-hal lain. Berharap beberapa hal yang saya lakuin ini membawa efek positif di hidup saya, menghibur saya yang mungkin saja alam bawah sadar, yang kata emak saya, otak saya sedang dalam penyembuhan depresi. Masuk ke fase restarting the new normal of my new life. Ga hanya perasaan saja yang perlu berdamai, otak juga perlu berdamai. Adaptasi dengan kehidupan baru. Hm.. menarik juga mak gw.
Saking bosannya, saya jadi lebih random lagi. Mungkin itu otak saya makin bingung mencerna saya hahaha. Tiba-tiba saya telpon temen di Bogor “sibuk? saya main ya ke Bogor”. Hari itu juga beli tiket dan berangkat. Bawa sepotong pakaian saja, headset, charger, dompet. Minggu depannya bisa-bisa saya ada di Sragen. Minggu depannya tau-tau di Bali. Niatnya nonton live music di kafe-kafe di Bandar Lampung, tau-tau malam itu juga ke Jakarta nonton Hammersonic. Otak dan tubuh saya jetlag mulu kali ya hahaha.
Saya juga memaksa diri saya untuk memasak selama seminggu full dan berhasil. Saat ini saya memaksa diri saya untuk nontonin film yang masuk di daftar tontonan di Netflix. Kedepannya saya akan paksa diri saya berhenti ngopi, menantang diri saya untuk nulis di blog tiap Jumat, Sabtu, Minggu. Belajar makeup sendiri sampai fasih. Dan beberapa hal lain yang sudah saya masukin agenda.
Kesimpulan
Saya belum mengatasi rasa bosan ini sepenuhnya. Namun saya akan terus berusaha keluar dari kebosanan dengan hal-hal positif. Doakan ya! Terima kasih untuk semuanya kalian yang support saya diam-diam atau terang-terangan. Semoga kehidupan kalian dilimpahkan hal-hal baik selalu. Aaammmiiinnn. Love you all, bye bye!